Rangkuman Tarif Sanksi Administrasi Bunga Pajak Indonesia

Rangkuman Tarif Sanksi Administrasi Bunga Pajak Indonesia



Sanksi Administrasi BerupaBunga, Bentuk Pengenaan Bunga, dan Besarnya Bunga 


1. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT  Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
Pasal 8 ayat (2) UU KUP 2%per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

2. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
Pasal 8 ayat (2a) UU KUP 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak  jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung Penuh 1 (satu) bulan.

3. Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 ayat (2a) UU KUP pajak berdasarkan SPT Masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak. 
 Pasal 9 ayat (2a) UU KUP 2% pet bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

4. Pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan SPT Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT  Tahunan. 
Pasal 9 ayat (2b) UU KUP 2% per bulan dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran,  dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 

5. Dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,  paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
6. Apabila Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan atau dikukuhkan PKP secara jabatan.
Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
7. SKPKB yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 5 (lima)tahun, yang diterima oleh Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 13 ayat (5) UU KUP 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
 8. Dari penelitian rutin:
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. SPT salah tulis/salah hitung sehingga terdapat kekurangan
pembayaran pajak.
Pasal 14 ayat (3) UU KUP 2% per bulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan iterbitkannya STP.
9. Bagi PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.
Pasal 14 ayat (5) UU KUP 2% pet bulan dari jumlah yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Faktur Pajak Tidak Lengkap

Faktur Pajak Tidak Lengkap


Dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 yang menggantikan PER-13/PJ/2010, istilah Faktur Pajak Cacat dibuang jauh-jauh. Sebagai gantinya, istilah Faktur Pajak Cacat ini diganti dengan Faktur Pajak Tidak Lengkap. Secara umum, Faktur Pajak Cacat atau Tidak Lengkap ini mengandung konsekuensi sanksi denda bagi penerbitnya dan tidak dapat dikreditkan bagi penerimanya.

Nah, dalam kondisi yang bagaimana Faktur Pajak dikatakan tidak lengkap? Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam PER-24/PJ/2012.[1]

Jadi, ada tiga penyebab Faktur Pajak menjadi tidak lengkap, yaitu tidak memenuhi persyaratan formal, tidak memenuhi material, dan tidak memenuhi ketentuan PER-24/PJ/2012. Persyaratan formal dan material Faktur Pajak diatur dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN 1984. Bagaimana dengan ketentuan PER-24/PJ/2012?

Terdapat beberapa ketentuan dalam PER-24/PJ/2012 yang menyatakan bahwa Faktur Pajak menjadi tidak lengkap.

Pertama, dinyatakan bahwa Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[2]

Ketentuan ini sebenarnya masih satu nafas dengan persyaratan formal dan material sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984. Hanya saja, ditekankan bahwa agar tidak dinyatakan Faktur Pajak Tidak Lengkap, pengisian dan penandatanganan Faktur Pajak harus sesuai dengan tatacara dan prosedur yang diatur dalam PER-24/PJ/2012.

Kedua, ditegaskan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.[3]

Seharusnya memang satu nomor Faktur Pajak digunakan sekali saja. Tidak boleh nomor seri yang sudah terpakai digunakan kembali. Apabila ini dilakukan, seluruh Faktur Pajak yang menggunakan nomor seri yang sama dinyatakan sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Ketiga, ditegaskan juga bahwa dalam hal PKP melakukan pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[4]

Misalnya, pemakaian kode transaksi harus sesuai dengan transaksinya, apakah penyerahan biasa, penyerahan kepada pemungut, atau penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut. Begitu pula, kode penggantian faktur pajak, apakah merupakan fakur pajak pengganti atau faktur pajak normal.

Terakhir, dalam hal PKP tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan atau tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[5]

PKP memiliki kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan nama PKP atau pegawai/pejabat yang ditunjuk sebagai pendatangan Faktur Pajak. Batas waktunya adalah pada akhir bulan berikutnya setelah bulan nama PKP atau pegawai/pejabat tersebut menandatangani Faktur Pajak. Nah, apabila hal ini dilanggar, Faktur Pajak yang sudah ditandatangani menjadi Faktur Pajak tidak lengkap sampai dengan surat pemberitahuan penandatangan Faktur Pajak diterima oleh KPP.


[1] Pasal 1 angka 9 PER-24/PJ/2012
[2] Pasal 6 ayat 2 PER-24/PJ/2012
[3] Pasal 10 ayat (1) PER-24/PJ/2012
[4] Pasal 12 PER-24/PJ/2012
[5] Pasal 13 ayat (6) PER-24/PJ/2012
Kesimpulan PP 46 Tahun 2013 (Sementara yeee...)

Kesimpulan PP 46 Tahun 2013 (Sementara yeee...)


Kesimpulan sementara (Karena belum ada PMK nya..) dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP Nomor 46 tahun 2013) atau lebih populer pakai istilah PPh atas UKM adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu  adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  • Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Trus yang Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
  • menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  • menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  • Jadi kesimpulan mudahnya kaya jualan penyetan ngemper atau pasar malam pinggir jalan yang sifatnya ga permanen, sore dateng pasang tenda lalu jualan trus malemnya bongkar tendanya pulang bobok deh...
Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
  • Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  • Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan  didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif  1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
Ketentuan  Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lain di bidang perpajakan misalnya PPH Final Jasa Konstruksi dengan tarifnya sendiri.
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
  • kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
  • Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak ;
  • kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
  1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
  3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.


Jadi kesimpulannya, pemerintah melalui KPP ingin menjaring semua potensi pajak sampai ke level yang paling kecil, cuma dengan keluarnya PP ini aga bentrok dan jadi Grey Area dengan PP dan UU yang lain terutama soal fasilitas diskon PPH Badan yang 50% tuh..

So far ya kita tunggu aja pelaksanaannya melalui PMK yang entah berapa lama lagu nantu keluar..
Udah lama ga update

Udah lama ga update

Thanks to all reader who still browse my old blog.. I think i will write again to remind me what i have learn in the past..

I hope these post will help you all..


God Bless You all..