Rangkuman Keberatan dan Banding plus UU KUP

Rangkuman Keberatan dan Banding plus UU KUP



A. KEBERATAN atas Hasil Pemeriksaan
Untuk Pajak secara umum (PPh, PPN)
Pemeriksaan dapat dilakukan bila terjadi lebih bayar pajak (UU No. 28 Tahun 2007-UU KUP pasal 17) ataupun ada indikasi ketidakbenaran dalam sistem self assessment, dimana Wajib Pajak menghitung, melaporkan dan membayar pajak secara tidak benar. Dari hasil pemeriksaan ini munculah closing statement (pembahasan hasil akhir pemeriksaan) dan akhirnya SKPKB (kurang bayar), SKPN (pajak nihil) atau SKPLB (pajak lebih bayar). Bila keberatan dengan tagihan pajak, Wajib Pajak memiliki dua pilihan yang disediakan oleh KUP:
1. Mengajukan keberatan paling lama 3 bulan setelah terbit SKP (KUP Pasal 25)
Konsuekensi dari pilihan ini:
  • Bila keberatan ditolak dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak paling lambat 3 bulan setelah terbit surat keputusan keberatan (UU KUP pasal 27).
  • Boleh membayar hanya sebesar jumlah yang disepakati Wajib Pajak dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan. (UU KUP Pasal 25 ayat 3a).
  • Jangka waktu pelunasan SKPKB atau STP tertangguh sampai 1 bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan (UU KUP pasal 25 ayat 5). Bila mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang belum dibayar saat pengajuan keberatan tertangguh sampai 1 bulan sejak tanggal peneritan putusan banding. (UU KUP Pasal 27 ayat 5a).
  • Ada sanksi 50% atas pajak kurang bayar bila keberatan ditolak (UU KUP Pasal 25 ayat 9) dan 100% bila banding ditolak (UU KUP Pasal 27 ayat 5-d)
  • Jangka waktu yang lama untuk mendapatkan kelebihan pembayaran  yaitu 12 bulan untuk menunggu keputusan surat keberatan (UU KUP pasal 26 ayat 1) dan menunggu putusan banding bila keberatan ditolak.
  • Tidak ada penundaan kewajiban pembayaran SKPKB (Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar). Penagihan dan denda bunga tetap terus berjalan.
2. Mengajukan permohonan keringanan atau pembatalan  surat tagihan pajak (KUP Pasal 36)
Konsuekensi dari pilihan ini:
  • Permohonan dapat diajukan dua kali (UU KUP pasal 36 ayat 1a)
  • Jangka waktu keputuasn lebih cepat (6 bulan-UU KUP pasal 36 ayat 1c) dibandingkan dengan keberatan (12 bulan-UU KUP pasal 26 ayat 1)
  • Dapat digunakan bila keberatan tidak memenuhi persyaratan seperti pada UU KUP Pasal 25 ayat 4 atau bila terjadi penyimpangan dari hasil pemeriksaan (Pasal 36 ayat 1d)
Untuk Pajak Daerah
Hampir sama dengan UU KUP, UU PDRD mengatur keberatan atas SKPD (surat keputusan pajak daerah). Hanya dalam hal ini SKPD bisa diterbitkan tanpa pemeriksaan. Sesuai UU PDRD (UU No. 28 tahun 2009) pasal 97, dalam jangka 5 tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan:
  1. SKPDKB (pajak daerah kurang bayar) dalam hal:
    1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
    2. jika SPTPD (Surat pemberitahuan pajak daerah) tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
    3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
  2. SKPDKBT (pajak daerah kurang bayar tambahan) jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
  3. SKPDN (pajak daerah nihil) jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Ada 2 cara yang bisa dilakukan WP:
1. mengajukan keberatan ke Kepala daerah sesuai UU PDRD Pasal 103
a)    Sesuai UU PDRD pasal 103, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) pajak daerah kepada Kepala Daerah atau paling lambat 3 bulan sejak tanggal terbitnya SKP.
b)    Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak (UU PDRD Pasal 103 ayat 4).
c)    Sama seperti dalam UU KUP, Ada sanksi 50% atas pajak kurang bayar bila keberatan ditolak (UUPDRD Pasal 106 ayat 3) dan 100% bila banding ditolak (UUPDRD Pasal 106 ayat 5). Terdapat pula penangguhan kwajiban pembayarn pajak seperti di KUP yaitu 1 bulan sejak terbitnya putusan banding (UU PDRD pasal 105 ayat 3).
2. mengajukan surat permohonan ke kepala daerah sesuai UU PDRD pasal 107. Yang peraturan terkaitnya harus melihat lagi Perda masing-masing daerah.
B. KEBERATAN ATAS SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
Untuk Pajak secara umum (PPh, PPN)
Sesuai UU KUP, pasal 36 ayat 1c, Wajib Pajak dapat memohon kepada Dirjen Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang tidak benar. Namun hal ini tidak menuda kewajiban membayar pajak senilai STP yang artinya denda bunga dan usaha penagihan tetap berjalan. Untuk mencegah aset disita dan dilelang, Wajib Pajak dapat melayangkan gugatan ke pengadilan pajak sesuai UU KUP pasal 23.
Untuk Pajak Daerah
Sesuai UU PDRD pasal 100, Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD (surat tagihan pajak daerah)  jika:
  1. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian SPTPD (surat pemberitahuan pajak daerah) terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
Sesuai UU PDRD pasal 107, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan ke Kepala Daerah untuk mengurangkan atau membatalkan STPD ayat 2c. Ketentuan lebih lanjut tentang masalah ini diatur dalam Perda masing-masing daerah.
Untuk PBB
Menurut UU PBB Pasal 15 Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP).  Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas dan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya DPPT atau SKP, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
DJP dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. (UU PBB Pasal 16)
UU PBB Pasal 17 menyatakan Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh DJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Namun, pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.

C. PERMOHONAN KERINGANAN PAJAK
Untuk Pajak secara umum (PPh, PPN)
Sesuai UU KUP, pasal 36 ayat 1a, Wajib Pajak dapat memohon kepada Dirjen Pajak untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak terutang karena kekhilafan Wajib Pajak. Namun hal ini tidak menuda kewajiban membayar pajak senilai STP yang artinya denda bunga dan usaha penagihan tetap berjalan. Untuk mencegah aset disita dan dilelang, Wajib Pajak dapat melayangkan gugatan ke pengadilan pajak sesuai UU KUP pasal 23.
Untuk Pajak Daerah
Sesuai UU PDRD Pasal 107, Wajib Pajak dapat menagjukan permohonan ke Kepala Daerah untuk:
  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundangundangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya  (UU PDRD
  2. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak
Ketentuan lebih lanjut tentang masalah ini diatur dalam Perda masing-masing daerah.
Untuk PBB
UU PBB Pasal 19 menyatakan Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
  1. karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
  2. dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang diluar biasa.
UU PBB Pasal 20 menyatakan atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu. Peraturan Menteri Keuangan  No. 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan PBB menyatakan pengurangan PBB dapat diberikan kepada Wajib Pajak dengan kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya untuk:
  1. Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
1)    objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/dudanya;
2)    objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah
3)    objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya  sulit dipenuhi;
4)    objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya  sulit dipenuhi; dan/atau
5)    objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan;
2. Wajib Pajak badan meliputi: objek pajak yang Wajib Pajak-nya adalah Wajib Pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada Tahun Pajak sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin.
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam PMK No. 110/PMK.03/2009 Pasal 2 dapat diberikan:
  1. sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/dudanya.
  2. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kesulitan likuiditas karena kerugian, penghasilan rendah ataupun NJOP per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan
  3. sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa  seperti ketidakmampuan membayar karena pension atau berpenghasilan rendah.
PMK No. 110/PMK.03/2009 Pasal 5 mengatur Permohonan Pengurangan Wajib Pajak sebagai dasar Pengurangan PBB. Permohonan Pengurangan Wajib Pajak dapat diajukan secara:
  1. perseorangan, untuk PBB yang terutang yang tercantum dalam SKP PBB
  2. perseorangan atau kolektif, untuk PBB yang terutang yang tercantum dalam SPPT.
PMK No. 110/PMK.03/2009  Pasal 6 mengatur persyaratan permohonan pengurangan yang berupa surat permohonan dan kelengkapan dokumen pembuktian serta syarat lain di antaranya:
  1. tidak memiliki tunggakan PBB Tahun Pajak sebelumnya atas objek pajak yang dimohonkan Pengurangan, kecuali dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab  lain yang luar biasa; dan
  1. tidak diajukan keberatan atas SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan, atau dalam hal diajukan keberatan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan dimaksud tidak diajukan Banding.

Permohonan Pengurangan yang tidak memenuhi persyaratan dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan. Wajib Pajak yang telah diberikan suatu keputusan tidak dapat lagi mengajukan permohonan Pengurangan untuk SPPT atau SKP PBB yang sama.
Rangkuman Tarif Sanksi Administrasi Bunga Pajak Indonesia

Rangkuman Tarif Sanksi Administrasi Bunga Pajak Indonesia



Sanksi Administrasi BerupaBunga, Bentuk Pengenaan Bunga, dan Besarnya Bunga 


1. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT  Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
Pasal 8 ayat (2) UU KUP 2%per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

2. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
Pasal 8 ayat (2a) UU KUP 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak  jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung Penuh 1 (satu) bulan.

3. Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 ayat (2a) UU KUP pajak berdasarkan SPT Masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak. 
 Pasal 9 ayat (2a) UU KUP 2% pet bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

4. Pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan SPT Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT  Tahunan. 
Pasal 9 ayat (2b) UU KUP 2% per bulan dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran,  dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 

5. Dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,  paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
6. Apabila Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan atau dikukuhkan PKP secara jabatan.
Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
7. SKPKB yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 5 (lima)tahun, yang diterima oleh Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 13 ayat (5) UU KUP 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
 8. Dari penelitian rutin:
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. SPT salah tulis/salah hitung sehingga terdapat kekurangan
pembayaran pajak.
Pasal 14 ayat (3) UU KUP 2% per bulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan iterbitkannya STP.
9. Bagi PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.
Pasal 14 ayat (5) UU KUP 2% pet bulan dari jumlah yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Faktur Pajak Tidak Lengkap

Faktur Pajak Tidak Lengkap


Dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 yang menggantikan PER-13/PJ/2010, istilah Faktur Pajak Cacat dibuang jauh-jauh. Sebagai gantinya, istilah Faktur Pajak Cacat ini diganti dengan Faktur Pajak Tidak Lengkap. Secara umum, Faktur Pajak Cacat atau Tidak Lengkap ini mengandung konsekuensi sanksi denda bagi penerbitnya dan tidak dapat dikreditkan bagi penerimanya.

Nah, dalam kondisi yang bagaimana Faktur Pajak dikatakan tidak lengkap? Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam PER-24/PJ/2012.[1]

Jadi, ada tiga penyebab Faktur Pajak menjadi tidak lengkap, yaitu tidak memenuhi persyaratan formal, tidak memenuhi material, dan tidak memenuhi ketentuan PER-24/PJ/2012. Persyaratan formal dan material Faktur Pajak diatur dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN 1984. Bagaimana dengan ketentuan PER-24/PJ/2012?

Terdapat beberapa ketentuan dalam PER-24/PJ/2012 yang menyatakan bahwa Faktur Pajak menjadi tidak lengkap.

Pertama, dinyatakan bahwa Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[2]

Ketentuan ini sebenarnya masih satu nafas dengan persyaratan formal dan material sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984. Hanya saja, ditekankan bahwa agar tidak dinyatakan Faktur Pajak Tidak Lengkap, pengisian dan penandatanganan Faktur Pajak harus sesuai dengan tatacara dan prosedur yang diatur dalam PER-24/PJ/2012.

Kedua, ditegaskan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.[3]

Seharusnya memang satu nomor Faktur Pajak digunakan sekali saja. Tidak boleh nomor seri yang sudah terpakai digunakan kembali. Apabila ini dilakukan, seluruh Faktur Pajak yang menggunakan nomor seri yang sama dinyatakan sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Ketiga, ditegaskan juga bahwa dalam hal PKP melakukan pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[4]

Misalnya, pemakaian kode transaksi harus sesuai dengan transaksinya, apakah penyerahan biasa, penyerahan kepada pemungut, atau penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut. Begitu pula, kode penggantian faktur pajak, apakah merupakan fakur pajak pengganti atau faktur pajak normal.

Terakhir, dalam hal PKP tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan atau tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.[5]

PKP memiliki kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan nama PKP atau pegawai/pejabat yang ditunjuk sebagai pendatangan Faktur Pajak. Batas waktunya adalah pada akhir bulan berikutnya setelah bulan nama PKP atau pegawai/pejabat tersebut menandatangani Faktur Pajak. Nah, apabila hal ini dilanggar, Faktur Pajak yang sudah ditandatangani menjadi Faktur Pajak tidak lengkap sampai dengan surat pemberitahuan penandatangan Faktur Pajak diterima oleh KPP.


[1] Pasal 1 angka 9 PER-24/PJ/2012
[2] Pasal 6 ayat 2 PER-24/PJ/2012
[3] Pasal 10 ayat (1) PER-24/PJ/2012
[4] Pasal 12 PER-24/PJ/2012
[5] Pasal 13 ayat (6) PER-24/PJ/2012
Kesimpulan PP 46 Tahun 2013 (Sementara yeee...)

Kesimpulan PP 46 Tahun 2013 (Sementara yeee...)


Kesimpulan sementara (Karena belum ada PMK nya..) dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP Nomor 46 tahun 2013) atau lebih populer pakai istilah PPh atas UKM adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu  adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  • Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Trus yang Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
  • menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  • menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  • Jadi kesimpulan mudahnya kaya jualan penyetan ngemper atau pasar malam pinggir jalan yang sifatnya ga permanen, sore dateng pasang tenda lalu jualan trus malemnya bongkar tendanya pulang bobok deh...
Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
  • Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  • Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan  didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif  1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
Ketentuan  Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lain di bidang perpajakan misalnya PPH Final Jasa Konstruksi dengan tarifnya sendiri.
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
  • kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
  • Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak ;
  • kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
  1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
  3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.


Jadi kesimpulannya, pemerintah melalui KPP ingin menjaring semua potensi pajak sampai ke level yang paling kecil, cuma dengan keluarnya PP ini aga bentrok dan jadi Grey Area dengan PP dan UU yang lain terutama soal fasilitas diskon PPH Badan yang 50% tuh..

So far ya kita tunggu aja pelaksanaannya melalui PMK yang entah berapa lama lagu nantu keluar..
Udah lama ga update

Udah lama ga update

Thanks to all reader who still browse my old blog.. I think i will write again to remind me what i have learn in the past..

I hope these post will help you all..


God Bless You all..