PPN
atas pemakaian sendiri BKP maupun JKP sebenarnya sudah dikenakan sejak
UU PPN yang pertama kali, yaitu UU PPN 1984. Akan tetapi seiring
perjalanan waktu, sepertinya objek PPN yang satu ini semakin diperluas
dan semakin tidak mencerminkan spirit awal pengenaan PPN dalam UU PPN
tersebut.
Seperti
yang sudah kita ketahui, salah satu kegiatan, transaksi atau peristiwa,
yang oleh UU PPN ditetapkan sebagai objek pengenaan PPN, adalah
transaksi, kegiatan, atau peristiwa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).
Ada dua terminologi penyerahan BKP yang menjadi objek pengenaan PPN,
yaitu penyerahan BKP yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan
penyerahan BKP yang disebutkan dalam Pasal 16D. Keduanya ada di UU PPN
Nomor 42 Tahun 2009.
Pengertian Penyerahan BKP
Dalam
kacamata UU PPN, kata penyerahan BKP tersebut ternyata tidak selalu
berarti penjualan BKP. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 1A UU PPN di
mana di pasal ini ditegaskan bahwa pengertian kata ‘penyerahan BKP’
mencakup segala bentuk transaksi, kegiatan, atau peristiwa, yang
berujung pada perpindahan hak atau penguasaan atas BKP tesebut. Beberapa
bentuk transaksi, kegiatan, atau peristiwa yang oleh UU PPN dianggap
sebagai bentuk penyerahan BKP yang terutang PPN antara lain [lihat Pasal
1A ayat (1) UU PPN]:
- penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian, baik perjanjian jual-beli, tukar-menukar, jual-beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas suatu barang;
- pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli maupun perjanjian leasing. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan leasing adalah leasing dengan hak opsi (finance atau capital lease) di mana BKP dianggap diserahkan langsung dari supplier kepada lessee;
- penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
- pemakaian sendiri maupun pemberian cuma-cuma (pemberian tanpa pembayaran) atas BKP;
- BKP berupa persediaan maupun aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
- penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya maupun penyerahan BKP antar cabang;
- penyerahan BKP secara konsinyasi; dan
- penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada nasabah.
Kedelapan
bentuk transaksi, kegiatan atau peristiwa tersebut di atas merupakan
contoh yang dianggap sebagai bentuk penyerahan BKP. Artinya semua bentuk
transaksi, kegiatan atau peristiwa selain dari delapan yang disebutkan
di atas, bisa tergolong sebagai penyerahan BKP apabila mengakibatkan
penyerahan atau perpindahan hak atau penguasaan terhadap BKP.
Menurut
UU PPN hanya ada 5 (lima) transaksi, kegiatan atau peristiwa yang tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, sehingga tidak terutang PPN.
Kelimanya disebutkan dalam Pasal 1A ayat (2) UU PPN sebagai berikut:
- penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam KUHD;
- penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang;
- penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya maupun penyerahan BKP antar cabang, jika PKP sudah melakukan pemusatan tempat PPN terutang (sentralisasi PPN);
- pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan sudah menjadi PKP; dan
- BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN.
Kategori Pemakaian Sendiri BKP
Terkait
dengan soal pemakaian sendiri BKP tersebut, Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 1 Tahun 2012 menjelaskan bahwa istilah pemakaian sendiri tidak
hanya berlaku untuk BKP tetapi juga berlaku untuk Jasa Kena Pajak (JKP).
Satu hal yang menurut praktisi pajak tidak sesuai dengan UU PPN dan
sangat bertentangan dengan asas pengenaan pajak sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 23A UUD 1945.
PP
Nomor 1 Tahun 2012 membedakan pemakaian sendiri BKP/JKP ke dalam dua
kelompok. Pertama kelompok pemakaian sendiri untuk tujuan produksi
selanjutnya atau untuk kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha
(untuk tujuan produktif) dan kelompok kedua adalah pemakaian sendiri
untuk tujuan konsumtif atau untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan
usaha.
Contoh
pemakaian sendiri BKP yang tergolong sebagai pemakaian sendiri untuk
tujuan produktif, yang disebutkan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 antara
lain:
- pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
- pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.
- perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya (contoh JKP).
- pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.
- pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
- perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
Sementara
untuk kelompok pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan konsumtif, PP
Nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh berikut:
- pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
- pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
- perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya.
Terutang PPN
Pemakaian
sendiri BKP maupun JKP yang bersifat konsumtif (tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi selanjutnya atau tidak berhubungan
dengan kegiatan usaha produksi, distribusi, manajemen dan pemasaran)
merupakan penyerahan yang terutang PPN. Ini berarti terhadap pemakaian
sendiri tersebut harus diterbitkan Faktur Pajak di mana Faktur Pajak
atas pemakaian sendiri ini berfungsi sebagai Pajak Keluaran (PK) dan
sekaligus sebagai Pajak Masukan (PM). Akan tetapi perlu diingat bahwa PM tersebut tidak dapat dikreditkan di SPT Masa PPN.
Tarif
PPN untuk pemakaian sendiri ini sama seperti yang lainnya, yaitu 10%.
Tetapi khusus untuk DPP atau dasar pengenaan pajaknya, yang dipakai
sebagai DPP adalah Harga Jual (untuk BKP) atau Penggantian
(untuk JKP) setelah dikurangi dengan laba kotor [Pasal 2 huruf a
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010]. Orang banyak yang
menyebut DPP ini dengan Harga Perolehan atau Harga Pokok Produksi (cost of prodution).
Harga Perolehan digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu bukan hasil produksi sendiri. Misalnya seperti pabrikan sepatu yang membeli topi untuk promosi dan kemudian sebagian dari topi itu diberikan kepada pegawainya.Sedangkan Harga Pokok Produksi digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu merupakan hasil produksi sendiri. Misalnya pabrikan sepatu memberikan sepatu hasil produksinya kepada para pegawai atau direksinya.
Karena
DPP untuk pemakaian sendiri ini menggunakan Nilai Lain, maka Faktur
Pajak yang dibuat nantinya menggunakan kode 04. Selain itu, dalam Faktur
Pajak tersebut kolom identitas pembeli atau penerima BKP/JKP diisi
dengan identitas pengusaha sendiri (sama dengan kolom penjual atau pihak
yang menyerahkan BKP/JKP).
Penyetoran
PPN (Pajak Keluaran/PK) atas pemakaian sendiri BKP dan JKP ini tidak
dilakukan secara tersendiri tetapi digabungkan dengan PPN dari Faktur
Pajak lainnya (ikut mekanisme umum PK minus PM).
Bersifat Produktif
Pemakaian
sendiri BKP maupun JKP yang bersifat produktif (untuk digunakan dalam
proses produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan usaha
produksi, distribusi, manajemen dan pemasaran) menurut PP Nomor 1 Tahun
2012 sebenarnya juga terutang PPN. Namun, seperti yang diutarakan oleh
memori penjelasan Pasal 5 PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, untuk
memmberikan kemudahan administrasi pelaporan dan penghitungan kepada
pengusaha, atas pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan produktif seperti
ini tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN-nya pun tidak perlu
disetorkan. Sebab PPN yang disetorkan itu nantinya akan menjadi PK
sekaligus PM yang dapat dikreditkan. Jadi jika di-nett-off-kan akan menjadi Rp 0,-.
Akan
tetapi lain ceritanya jika pemakaian sendiri yang bersifat produktif
tersebut terkait dengan kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang
PPN atau mendapat fasilitas pembebasan PPN. Dalam hal ini meski bersifat
produktif, atas pemakaian sendiri BKP/JKP tersebut tetap harus
dibuatkan Faktur Pajak dan PPN maupun PPn-BM-nya tetap harus disetorkan
ke kas negara (sama seperti pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif).
Misalnya
PT ABC memproduksi mobil Esemka tipe sedan. Di samping itu, PT ABC juga
mempunyai lini usaha perusahaan taksi umum. Beberapa unit mobil sedan
Esemka yang dihasilkannya tersebut kemudian digunakan oleh PT ABC
sebagai mobil pelayanan service mobil keliling dan beberapa unit mobil lainnya dipakai sebagai armada taksinya.
- Terhadap pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan operasional service keliling tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN maupun PPn-BM-nya pun tidak perlu disetorkan ke kas negara.
- Terhadap pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan taksi, harus dibuatkan Faktur Pajak karena jasa angkutan umum (taksi) merupakan jasa yang atas penyerahannya tidak terutang PPN. Dengan demikian, PPN maupun PPn-BM-nya harus disetorkan ke kas negara.
Soal Pengkreditan PM
Lalu
bagaimana dengan Pajak Masukan (PM) yang dikeluarkan oleh pengusaha
dalam memproduksi BKP/JKP yang dipakai sendiri tersebut? Apakah PM-nya
itu boleh dikreditkan?
Memori
penjelasan Pasal 5 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012 mengatakan bahwa
apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri tersebut merupakan BKP atau
JKP yang tidak mendapat fasilitas pembebasan PPN, maka PM yang dibayar
untuk perolehan BKP/JKP yang digunakan dalam proses menghasilkan BKP/JKP
tersebut tetap dapat dikreditkan.
Tetapi
apabila BKP/JKP yang dipakai sendiri itu merupakan barang atau jasa
yang tidak terutang PPN, atau merupakan BKP/JKP yang mendapat fasilitas
pembebasan PPN, maka PM atas perolehan BKP/JKP yang digunakan dalam
proses produksi BKP/JKP yang dipakai sendiri tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Misalnya
PT ABC tadi. Dalam rangka memproduksi mobil Esemka tersebut tentunya PT
ABC banyak membayar PM misalnya PM atas pembelian mesin pabrik, PM atas
pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas perolehan JKP dan PM
yang lainnya. Dalam hal ini karena mobil Esemka yang dihasilkan PT ABC
tidak memperoleh pembebasan PPN, maka seluruh PM atas pembelian mesin
pabrik, PM atas pembelian aktiva pabrik, aktiva kantor, PM atas
perolehan JKP dan PM yang lainnya tersebut tetap dapat dikreditkan di
SPT Masa PPN.
Tetapi
jika ketentuan ini kita terapkan terhadap industri lain, maka ceritanya
akan berbeda. Sebagai contoh, misalnya PT ABC merupakan pabrikan CPO
yang memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri. Untuk memproduksi CPO, PT
ABC menggunakan kelapa sawit hasil kebunnya sendiri. Dalam hal ini atas
penggunaan hasil kebun tersebut tergolong pemakaian sendiri BKP untuk
tujuan produktif.
Akan tetapi, karena hasil kebun kelapa sawit (yang disebut dengan Tandan Buah Segar/TBS) merupakan BKP yang
mendapat fasilitas pembebasan PPN [sesuai dengan PP Nomor 12 Tahun 2001
stdtd PP Nomor 31 Tahun 2007], maka seluruh PM yang dikeluarkan oleh PT
ABC untuk lini kebun dalam menghasilkan kelapa sawit tersebut tidak
boleh dikreditkan. Inilah ketentuan yang sampai saat ini terus menjadi
perbincangan di kalangan praktisi pajak, khususnya pengusaha perkebunan
dan pengusaha lain yang terkait dengan fasilitas pembebasan PPN. Sebab
selain sangat merugikan pengusaha ketentuan ini juga dianggap
bertentangan dengan UU PPN.
0 Response to "PPN Masukan atas Pemakaian Sendiri"
Post a Comment